EKONOMI, BERITA BAIK — Indonesia memiliki potensi lahan budidaya perikanan yang sangat besar, mencapai 2,96 juta hektar.
Namun, saat ini pemanfaatan lahan tersebut masih rendah, hanya sekitar 6%.
Banyak lahan tambak yang terbengkalai atau tidak produktif, khususnya di pantai utara Jawa, seluas 78.550 hektar.
Penyebabnya meliputi tata kelola yang tidak memadai, bencana alam seperti banjir, rob, abrasi, pendangkalan saluran, serta serangan penyakit ikan.
Kondisi ini menimbulkan tantangan serius bagi Indonesia dalam menghadapi penurunan kualitas lingkungan dan perubahan iklim global yang berpotensi menurunkan produktivitas perikanan.
Untuk mengatasi masalah ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) telah merencanakan pengembangan perikanan budidaya melalui dua strategi utama: pengembangan budidaya dengan komoditas berorientasi ekspor seperti ikan nila salin, dan pengembangan Kampung Perikanan Budidaya berbasis kearifan lokal.
Salah satu terobosan terbaru adalah pembangunan model budidaya ikan nila salin di Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLU PPB) Karawasi, yang telah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo.
Model tambak modern ini diharapkan dapat menjadi contoh bagi industrialisasi nila salin di Indonesia dan bisa diterapkan pada tambak di sepanjang Pantura Jawa.
Budidaya ikan nila salin di Pantura Jawa telah menunjukkan potensi besar dalam meningkatkan ekonomi lokal.
Ketua Asosiasi Tilapia Indonesia, Alwi Tunggul Prianggolo, yang juga merupakan pembudidaya ikan nila salin di Indramayu, berbagi pengalaman suksesnya.
Sejak memulai budidaya ikan nila salin pada akhir 2019, Alwi telah mengembangkan 44 petak kolam dari sebelumnya hanya 9 petak.












