Penulis: Dwikki Ogi Dhaswara
BANGKASELATAN, BERITABAIK.CO.ID — Kisah ini bermula, di sebuah desa kecil yang tersembunyi diantara bukit-bukit hijau.
Terselimut damai yang selalu terasa disetiap sudut jalannya, disertai langkah kaki yang beriringan tanpa tergesa, dan suara penduduknya yang santun dalam bertegur sapa.
Kehidupan di desa ini mengalir pelan, seperti air sungai yang jernih menyusuri bebatuan.
Desa itu bernama Desa Penyampar. Tempat dimana alam dan manusia hidup berdampingan dalam harmoni yang terhampar.
Bukit-bukitnya menjulang tinggi, sementara burung-burungnya melayang bebas, seolah menari dalam tarian sunyi.
Rumah-rumah dengan atap runcingnya ikut mengkhiasi, terlihat dari rabung-rabungnya yang berbaris rapi, hingga pagar bambu yang tersusun disetiap halaman rumahnya.
Keberadaan itu seakan melambai lembut ke pelupuk mata, berpadu dengan bayang-bayang pohon besar yang menaungi mereka, bergoyang lembut diterpa angin, menciptakan simfoni alam yang melengkapi ketenangan desa.
Desa itu begitu damai, namun dibalik keindahan dan kedamaian Penyampar, ada satu kisah dari seorang pemuda yang lahir di desa itu, Arya.
Ia memiliki kemampuan yang tak dimiliki oleh siapa pun. Saat beranjak dewasa, ia mampu melihat jejak-jejak misterius yang tak kasat mata, jejak yang hanya bisa dilihat oleh mata batinnya.
Arya tumbuh dengan keyakinan dan ketenangan. Batinnya semakin matang, seperti akar pepohonan yang kian berkembang.
Arya mulai merasakan bagaimana setiap jejak misterius itu, kini dapat berbicara lebih jelas padanya.
Tak ada lagi kebingungan dan ketakutan dalam dirinya, hanya keheningan batin yang ia rasa dengan penuh kesadaran.
Dimalam yang sunyi, ketika kabut turun dari Bukit Penyampar, dan angin berbisik diantara pepohonan.
Arya berjalan menyusuri hutan menggunakan obor untuk menjumpai rumah saudaranya.
Hutan yang gelap dan sepi menyambut Arya dengan keheningan yang mencekam.
Bayang-bayang tak kasat mata muncul disekelilingnya.
Mengalir bagaikan arus waktu yang tak terputus.
Semua tak ada yang ia hiraukan, seperti gemerisik daun dan bisikan angin lalu, hadir lalu menghilang.
Dipertengahan jalannya, Arya melihat bayangan yang berbeda dari biasanya.
Bayangan itu berpendar terang, membawa aroma tanah basah yang pekat.
Munculah sosok perempuan yang cantik, berjalan berlawanan tapi tak menyapa, matanya memancarkan cahaya redup, namun penuh dengan pesona.
Rambutnya yang panjang terurai, bergerak halus mengikuti aliran angin, dan gaunnya seolah terbuat dari kabut yang melayang disekelilingnya.
Membuat Arya tak bisa berkedip, terkagum akan keberadaannya.
Arya tahu, perempuan ini bukanlah manusia, auranya begitu kuat, namun lembut, seolah hutan itu sendiri adalah bagian dari dirinya.
Arya lekas memberanikan diri untuk menegurnya. Dengan rasa gugup, sepatah kata terucap “Maaf..!”.
Perempuan itu menatap Arya, senyumnya bagaikan misteri, seakan mengundang, tetapi juga menjaga jarak
“Kau bisa melihatku..?” tanya perempuan itu, suaranya halus bagaikan desiran angin.
“Iya, aku tak pernah melihat cahaya yang sama sepertimu ketika dimalam hari, sekalipun itu rembulan dengan pesona malamnya!”. Jawab Arya dengan pandangannya yang terpaku akan pesona perempuan itu.
Bukan hanya kecantikannya yang memikat, tetapi karena ia juga merasakan keagungan yang tersembunyi dibalik sosok itu.
Hatinya terguncang, diantara ketertarikan dan rasa hormat yang mendalam.
Arya menyadari, bahwa pertemuan ini bukanlah kebetulan, melainkan takdir yang akan ia teruskan.
“Aku bukan dari duniamu”. Bisiknya, dengan nada yang penuh kasih sayang, “ Dunia kita berbeda, dan jarak ini tak bisa kau langkahi begitu saja”. Ucap perempuan itu.
Arya yang selama ini hidup dengan batas antara dunia yang nyata dan gaib, kini merasa tak peduli akan perbedaan itu “ Apalah arti batas jika hati telah bertaut?
Aku tak peduli, yang kutahu, kau mengisi ruang hati yang tak pernah terisi sebelumnya, siapakah namamu?”.
“Muna. Itulah namaku.“ Jawabnya.
Waktu seolah berhenti saat mereka saling bertatapan. Terjebak dalam moment yang tak terulang.
Hutan itu menjadi saksi pertemuan mereka, menjadi saksi dari ikatan yang tak biasa, lahir diantara batas-batas dunia yang berbeda.
Hari demi hari, malam demi malam mereka bertemu, Muna selalu menunggunya.
Meski mereka tahu, disuatu saat nanti, batas antara dunia mereka mungkin akan memisahkan mereka.
Sementara ini, mereka membiarkan hati mereka untuk saling berbicara.
Kebahagiaan mereka hidup didalam keajaiban, namun keduanya menemukan kedamaian.
Tibalah malam purnama, saat itu langit diatas Bukit Penyampar dipenuhi bintang.
Dibawah naungan pohon-pohon besar yang melingkupi mereka. Muna menggenggam tangan Arya, jemarinya dingin namun terasa begitu nyata.
Sentuhan itu membawa ketenangan yang melampaui kata-kata, seolah dunia di sekeliling mereka hanyalah riak bayangan yang mengalir diantara mereka berdua.
“Arya”, Bisik Muna dengan suara lembut.
“Malam ini, disaksikan purnama, aku ingin kau melihat duniaku yang selama ini hanya kau bayangkan”.
Langkah mereka begitu ringan, Arya merasakan batas antara dunia nyata dan gaib semakin kabur.
Hutan yang biasa ia kenal kini berubah menjadi pepohonan yang terlihat lebih tinggi.
Bayang-bayang semakin panjang, udara terasa dingin, dan langit yang begitu gelap bersama hilangnya purnama.
Muna berhenti, menarik tangan Arya sedikit lebih erat, dan menatapnya lebih dalam. “ jangan takut, kau hanya melihatnya, bukan untuk menjadi bagiannya”. Ucap Muna.
Arya tertegun ditepi lembah gaib itu, pandangannya tertuju pada pemandangan yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Ia melihat anak-anak bermain riang dihalaman rumahnya, tertawa dengan ceria bersama kegelapan, hanya diterangi obor kecil didepan pintu masuk rumah mereka.
Arya tak melihat satupun orang dewasa, disekitar mereka. “Dimana para orangtua, aku tak melihatnya?”. Tanya Arya
“Mereka ada”, Kata-katanya lembut, “Tapi bukan disini”. Muna menunjuk ke arah yang jauh, dimana sebuah bukit kecil terlihat samar dibalik kabut.
Dibawah bukit itu, Arya melihat bayangan-bayangan para orangtua berkumpul.
Beberapa dari mereka hanya nampak seperti siluet, seolah mereka berada ditengah pesta, menyambut kedatangan purnama yang tak nampak oleh penglihatan Arya.
Disisi gaib, cahaya rembulan ketika itu, bagaikan cahaya yang jatuh dari atas langit, memberikan kesan magis. Tapi anehnya Arya tak mampu melihatnya.
Para orangtua ditempat itu menari menggunakan selendang yang menggulung dileher dan menutup wajahnya, mereka membentangkan selendang ditangan mereka seperti elang, mengepakkanya layaknya terbang, diiringi tabuhan gendang dan gong.
Suara nyanyian dengan irama yang khas terdengar “
Yooooooo… lah payoo. Lah payo.. lah payo…”.
Arya merasakan jantungnya semakin berdebar, dan ingin lekas mengajak Muna pulang kembali ke dunianya.
Dengan sentuhan lembut, muna membawanya pulang kembali ketempat pertama mereka bertemu.
Sinar purnama bersama kabutnya menutupi perkampungan gaib itu, Muna menatap dalam ke mata Arya, tatapannya mengandung harapan dan keraguan yang bercampur.
Arya terdiam, namun didalam kebisuan itu, ada keyakinan yang perlahan tumbuh.
Ia menatap Muna, wajahnya dipenuhi kasih sayang yang tulus.
“Aku harus memberitahukan hubungan kita pada keluargaku, terutama Ibuku, orang yang sangat berarti bagiku”. Ucap Arya.
Muna terdiam, senyumnya sangat lembut, dan penuh pengertian. Ia mengerti betapa kuatnya ikatan antara Arya dan keluarganya. “Aku mengerti, kau harus kembali, aku akan menunggumu disini, ditempat kita pertama bertemu”.
Arya mengangguk perlahan, hatinya penuh dengan rasa cinta yang mendalam.
Ketika ia tiba dirumah, ibunya sudah menunggu diberanda.
Wajahnya penuh keteduhan seperti biasanya, tetapi ada tatapan yang mendalam dimatanya.
Arya tahu, ini adalah saat yang paling sulit dalam hidupnya, berbicara kepada ibunya tentang hubungannya dengan Muna, seorang perempuan dari alam yang berbeda.
Dengan lembut ia duduk dihadapan Ibunya, menarik nafas panjang, dan memulai pembicaraan.
“Ibu”, suara Arya terdengar berat, “Aku ingin memberitahumu tentang sesuatu yang penting. Aku telah bertemu dengan seorang perempuan bernama Muna, dan aku sangat mencintainya”.
Ibunya memandangnya dengan tenang, namun Arya bisa merasakan perubahan halus dalam tatapannya.
Ada kekhawatiran yang mulai terbayang.
“Siapa Muna itu, Nak? dari mana asalnya?. Tanya seorang ibu dengan suara lembut, namun penuh waspada.
Arya ragu sejenak, namun ia harus jujur kepada ibunya. “Muna…., dia bukan dari dunia kita, Bu..! dia berasal dari alam lain, dari tempat yang tak bisa kita lihat dengan mata biasa, tapi dia baik, lembut, dan aku mencintainya dengan sepenuh hati”.